Saturday, May 30, 2009


Bangkit dari Kubur!

Yep! Blog ini saya bangkitkan dari mati surinya sejak Oktober 08. Saya gelisah setengah mati sepulang dari wetiga untuk shooting dokumenter pendek round_the_world_connected dan bertemu para blogger disana. Ceritanya, sutradara dokumenter tersebut memilih tema blogging utk episode Jakarta karena dia membaca entah dimana bahwa "Jakarta is a blogging capital... etc". Nah, saya yang sehari-hari mencari hidup di Jakarta dan menikmati macetnya, kok sampe tega-teganya mengabaikan blog saya ini!

Selama ini saya memang terbius pesona beberapa situs microblogging macam FB dan Plurk sehingga mengabaikan blog ini. Padahal, ada fitur yang bisa mengimport entry dari blog ini ke akun saya di situs2 itu. Dan, alangkah ketinggalan jamannya saya baru mengaktifkan fitur tsersebut malam ini! Anyway, please welcome my resurrected blog!

Wednesday, October 08, 2008


Bisa Menulis Saja Tidak Cukup

Kalau nonton film-film dengan setting sekitar satu abad lalu, asik rasanya melihat para penulis duduk di depan jendela menghadap pada rumput luas, lalu menulis menuangkan isi kepalanya... That is some sort of life I want to have.

Tapi hare gene, bisa menulis aja nggak cukup utk menjadi seorang penulis. Harus update dengan teknologi, harus bisa cepat menguasai software baru, dan harus sabar plus telaten memindahkan content dari satu file ke file lain yg beda softwarenya. Hadoooh!!!

Terasa sangat melelahkan ketika menulis pohon cerita Laskar Pelangi dan harus menggunakan Omnigraffle, software yg harus dan baru saya pelajari utk menulis project ini.

Dari 10 hari waktu yg saya punya, dalam 1 hari kelaaaar smua pohon ceritanya diatas kertas, dengan 10 ending yg berbeda. Masalah menghadang ketika harus memindahkan tulisan itu dari kerta ke soft copy menggunakan sang Omnigraffle ini (nama software ini aja seolah-olah jumawa banget... mengingatkan saya pada kata "Omnipotent"! hahahaha...) Mulailah perjuangan saya mempelajari dan menggunakan Omnigraffle. Loh kok diagramnya lari-lari? Otomatis dibolak-balik? Duuuh... pening kepala!

Untunglah (dasar jawir, udah susah teteeep aja 'untung'), persis pada hari deadline saya nemu fungsi lock yg sangat membantu. Hehehe...

Saturday, July 26, 2008



Teluk Penyu, Cilacap.
Kurangnya kesempatan kerja dengan hasil yang layak membuat banyak kuli nelayan di tempat ini memilih bekerja di Taiwan. Sebagai apa? Kuli nelayan juga. Suaminya Warsiti salah satunya. Sudah setahun lebih sang suami meninggalkan Warsiti sendirian mengurus dua anak laki-laki mereka. Selama itu ia baru 2x mengirimi uang, masing-masing satu juga rupiah, sehingga oleh Warsiti segera saja habis untuk membayar hutang pada tetangga-tetangga. Jadi, benarkan menjadi nelayan di negeri orang bisa memperbaiki nasib seperti harapan mereka?

Saturday, July 19, 2008

Abigail



Lama sekali nggak mengupdate blog ini. Terakhir kali update Abigail masih cikal bakal yang baru saja diketahui keberadaannya. Sedikit flashback, pagi itu awal November 2006 di rumah Niyah di Berlin, extend setelah kelar jadi interpreter di sebuah workshop, rasanya mual banget. Aneka rupa keju yang biasanya terasa lezat, pas sarapan pagi itu terasa eneeeeg banget. Kirain sakit atau demam. Nah, di pesawat menuju London, baru terpikir kemungkinan lain penyebab mual yang waktu itu parah banget. Sudah dua minggu lebih nggak kedatangan tamu bulanan.... Hohohoho... mulai curiga deh!

Sampai di London, masih dengan menggendong ransel besar, nggak langsung pulang. Mampir dulu ke Boots di Trocadero utk beli test pack. Dan sampai di rumah dengan harap-harap cemas dipakailah si test pack itu. Hasilnya? Dua strip! Begitulah... tanda-tanda awal kehadiran Abigail.

Nah, terus sms Ucup dong... tapi kayaknya nggak nyampe deh smsnya, krn beberapa jam kemudian Ucup ngomel setelah mendengar berita ini dari Iis. Dia komplain, masa dengar berita ini dari orang lain! Loh.... hehehehe.. yah maap deh. Nyangkut di jaringan mobile world smsnya.

Lalu pulang ke Jakarta dan menikmati masa kehamilan yang sangat menyenangkan. Abigail memang anak yang baiiiik banget sejak dalam perut. Nggak ngerepotin, nggak nyusahin emaknya sama sekali. Emaknya tetep bisa kerja, nonton, jalan-jalan (eh, tapi yang masih di kota-kota ajalah) etc. Lahirnya pun nggak bikin repot. Ya sakit banget memang, jerit-jerit sih pasti, tapi semua lancar dan tanpa komplikasi. What a great child!

Sekarang, Abigail sudah punya dua buah gigi. Dan udah belajar sikat gigi sejak belum punya gigi! Hahahaha...

Labels:

Monday, November 06, 2006

Bitter Cold Winter
Halah! Baru bulan November kok London udah dingin aja! Perasaan tahun lalu nggak sedingin ini. Tapi itu perasaan aja. Kemarin baru saja menginjakkan kaki lagi di London, menyeruak diantara kerumunan manusia yang tak pernah sepi di Piccadilly Circus, merasakan kembali gurihnya samosa hangat di samping kedai kecil Cineworld Haymarket. Rasanya akrab sekaligus asing. Sebuah dualisme yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata.
Rasa aneh ini selalu muncul setiap tiba di suatu tempat setelah melewatkan waktu di tempat lain cukup lama, atau melakukan kegiatan yang cukup intens. Kepulangan ke Jakarta, kegiatan selama di Indonesia, dan workshop di Berlin yang menguras tenaga membuat rasa aneh itu hinggap lagi. Saya coba melipurnya dengan nonton History Boys. Sudah sebulan lebih nggak pakai unlimited access di Cineworld. Hah... film yang menarik. Tapi tidak bisa mengusir atau malah merekatkan dualisme itu.

Is there a place to call home?

Saturday, October 28, 2006

London Lagi
Tiba di London jam 7.20 local time, disambut warna langit yang paling saya sukai, biru pekat. Selain memang matahari belum muncul, matahari disini memang mahal harganya. Entah kenapa semua yang berhubungan dengan gadget jadi serba bikin bete hari ini. Pertama, saya nggak bisa kirim sms melalui nomer UK saya. Kirain krn habis pulsa tapi ternyata karena ada masalah dengan message service centernya. Dasar mobile world dodol! Saya lebih dodol karena mau aja pake provider kampungan nggak mutu kayak mobile world!

Lalu laptop saya crash. Setelah sempat dipakai sebentar untuk cek email dan Skype, tiba-tiba aja windowsnya mati. Pindah ke blue screen dengan pesan berbahasa teknis yang sulit saya mengerti... saya restart sempat bisa. Tapi lalu crash lagi. Dan dini hari ini, udah kesekian kalinya saya restart gagal terus! Bete!

Padahal dokumen untuk pekerjaan saya besok ada disitu, naskah yang belum tuntas & transkrip wawancara juga disitu... Kenapa ini? Saya mesti gimana? Duh Gusti, menopo lepat kawulo?
Klabat Sekelebat
Sebenarnya perjalanan ke Teluk Klabat, Pulau Bangka, terjadi 13-17 Oktober lalu. Tapi karena koneksi internet di tempat2 yang biasa saya tongkrongi di Jakarta itu alangkah luuuaaamanya... maka baru bisa update blog sekarang, dari London. Kami bertiga tinggal di Tanjung Penyusuk, desa nelayan mungil yang hanya terdiri dari deretan beberapa pondok sederhana di pantai berpasir putih. Kami tinggal di pondok milik Usman, yang berdinding bambu dan beratap rumbia (seperti deskripsi lagu Rumah Kita, God Bless, kira2 gitu deh). Disini, seperti di tempat-tempat lain dimana kehidupan bisa berjalan baik tanpa perlu jam dinding, waktu berjalan pelan sekali. Sebuah ritme yang memang tercipta untuk dinikmati.

Foto Tanjung Penyusuk ini dijepret oleh Yoas Nathan (Maacih Jo. sayang kita ga bisa dapet proper sunset, kabut asap sialan!). Di berbagai tempat di Pulau Bangka, kehidupan masyarakatnya berkutat di sekitar penggalian timah secara inkonvensional (ngetop dengan sebutan TI). Penambangan secara terbuka yang meninggalkan ceruk-ceruk raksasa menganga setelah habis dikeruk pasir timahnya. Menyedihkan. Hanya kaum nelayan di Tanjung Penyusuk-lah yang mencoba bertahan tidak ikut mencoba peruntungan dari TI. Seperti Usman, seperti ayah Usman.

Saya juga berkenalan dengan Aan, bocah 11 tahun kemenakan Usman. Aan jarang bertemu orang diluar anggota keluarga dan teman mainnya. Tapi dalam tempo singkat, dia tidak canggung saya ajak ngobrol, meski perannya lebih banyak menjawab pertanyaan saya. Ini sering sekali saya temui pada anak-anak di berbagai tempat di Indonesia. Ketika berinteraksi dengan orang dewasa, mereka hanya bicara jika ditanya. Sangat jarang secara spontan mengeluarkan pikiran mereka. Anak-anak yang saya temui di London, bisa dengan leluasa mengajukan pertanyaan atau pendapatnya tanpa diminta. Kenapa ya?

Thursday, October 05, 2006

Hantu?
Saya masih saja belum rela dengan ratusan poundsterling yang begitu saja masuk ke pundi-pundi airline network. Logo Etihad, angka '28' berukuran raksasa, counter check in Gatwick Airport, dan senyum-manis-setengah-terpaksa mas petugas ticketing terus datang menghantui saya dalam mimpi di malam hari dan lamunan di siang hari. Saya seperti mengalami sleep paralysis, kadang seperti ada angka 28 berwarna hitam berukuran besar menghantam kepala saat saya diantara tidur dan terjaga. Duh gusti, ada apa ini?
Flight Mahal
Beberapa bulan lalu saya dan teman-teman sekelas saling cerita hal paling bodoh yang pernah kita lakukan. Saya lupa sih, waktu itu saya cerita apa. Yang jelas cerita di balik flight saya ke Jakarta kali ini adalah hal paling bodoh yang pernah saya lakukan. Jadi gini, saya pesan tiket melalui website airlinenetwork.co.uk cukup mendadak dan sempat cemas ketika 2 hari menjelang tanggal keberangkatan ticketnya belum juga ditangan. Ternyata ticketnya baru sampai di rumah hari Rabu 27 September kemarin. Okeh. Lega dong. Siap berangkat.


Jumat 29 September, jam 8.55 am saya sudah sampai di Gatwick airport, untuk flight jam 11 am. Pas dong... yuuuk mari ke meja check in. Saya dengan tersenyum manis memberikan tiket dan paspor ke mbak petugas check-in. Dia melihat dokumen saya beberapa saat dan bilang, “You were supposed to fly yesterday. Your ticket is for Thursday, 28th of September.”

HAAAH?!?!?! Apa??? Tidaaaaaaak!!!
Lutut saya mendadak lemas. Rasanya mau pingsan ditempat saat mbak petugas check in nunjukin tanggal yang tercetak di tiket, 28 September. Mati nih! Saya pun bilang pasti ada kesalahan booking, atau salah cetak. Si Mbak menyarankan saya ke counter ticket Etihad airlines di bandara dan membereskan urusan ini dengan petugas ticketing. Perasaan saya sudah kacau. Rasanya mau teriak saat mas petugas ticketing hanya bilang "Sorry, we can't help you. If there's a mistake in the booking, you have to contact your travel agent to sort things out".

Pilihan saya adalah menelfon travel agent (airlines network) untuk meluruskan kesalahan apapun yang terjadi atau membeli tiket baru saat itu juga. Tadinya saya yakin betul flight saya dari London adalah hari Jumat. Tapi setelah saya ingat-ingat lagi, jangan-jangan saya memang mulai linglung, menyangka tanggal 28 September adalah hari Jumat. Siaaaaaal...

Karena alasan emosional dan beberapa pertimbangan praktis, saya bersikeras harus terbang pagi itu juga. Padahal return ticket saya sudah hangus karena tidak saya pakai tanggal 28 Sept. Tak ada jalan lain, saya terpaksa beli RETURN TICKET BARU yang tentunya jauh lebih mahal. Sial. Sial. Sial. Rasanya langit runtuh diatas kepala saya. Rasanya saya ingin mencabuti tiap helai rambut di kepala! Sayang saya manusia biasa. Seandainya saya bisa traveling pake floo powder aja, kayak Harry Potter!

Karena tiket baru di print 35 menit sebelum jam take off, saya pun harus lari (beneran, sprint!) untuk melalui security check, imigrasi dan masuk ke pesawat. Setelah duduk di pesawat pun, mixed feeling antara penasaran apakah salah booking atau saya yang memang linglung, terus memenuhi kepala saya. Entahlah... saya pasrah dan setengah putus asa. For sure, I'm financially devastated. Damn!

Wednesday, September 27, 2006

Klip Indonesia
Rasa nasionalisme saya kembali teruji malam ini *halah*. Setelah kecewa nggak dapet tiket Opening Gala di Korean film festival (padahal bareng Sly & Chendra udah antri sejam!), saya memutuskan nonton dokumenter ttg Indonesia di West Hampstead. You know what, ini bukan documentary film screening, tapi documentary footage screening. Filmmakersnya mempertontonkan potongan 7 klip pendek yang tengah mereka edit gitu. Eh, belum editing deh, malah ngakunya mereka baru logging. Dan mereka berani ngundang orang untuk nonton, memungut bayaran pula 4 pound! Ck ck ck... Well, ini London, semua bisa terjadi.

Klip ini cerita tentang Anwar, seorang preman Medan yang terlibat jadi eksekutor pembantaian mereka yang dicap komunis tahun 65-66 dulu. Anwar yang sekarang sudah kakek-kakek berambut putih, dengan lincah, lancar dan ceria bertutur gimana dulu dia ikut menghabisi nyawa orang-orang itu. Satu klip malah nunjukin reka ulang proses eksekusi dengan menggorok leher di lokasi yang sebenarnya. Sadis? Horor? Ngeri? Nggak tuh. Karena sesudah reka ulang, masih di lokasi yang sama, Anwar mengaku telah meminta maaf pada Tuhan lalu menunjukkan kalau dia 'happy person', jago dansa dan suka ke disko. Dia juga dansa di lokasi itu. Wah! Saya kaget.

Klip-klip berikutnya nunjukin Anwar seorang movie freak, doyan banget film gangster. Malah ada adegan imajinasinya Anwar, dimana dia dress up ala gangster lengkap, bersama gangnya yang juga pake jas, tengah menginterogasi seorang anggota Lekra di ruangan gelap dengan asap mengepul dari cerutu. Bagian ini jelas set up. Lho? Saya bingung.

Para filmmakernya antusias banget ketemu saya. Secara saya satu-satunya orang Indonesia yang datang (hallo... padahal konon ada ratusan orang Indonesia di London). Pas sesi Q & A, jelas saya mempertanyakan kenapa pakai set up, bagaimana ini bisa merepresentasikan sejarah gelap yang orang Indonesia sendiri coba kubur? Oooh... sebenarnya saya tidak puas dengan jawaban mereka. Tapi saya pikir tidak adil kalau menilai hanya dari klip yang saya lihat malam ini, karena mereka masih punya ratusan jam footage lagi. Well, saya harus kontak terus dengan mereka, memastikan saya mengikuti perkembangan film yang bakal menarik ini. Saya terusik.

Tuesday, September 26, 2006

Children of Men
Gimana jadinya kalo manusia di seluruh dunia ini jadi infertile karena polusi & kerusakan alam lain? Angka kelahiran nol dan manusia termuda yang berumur 18 tahun, meninggal? Itulah yang digambarkan dalam film ini, dari novelnya PD James. Novelnya saya belum baca, tapi filmnya udah terlanjur keluar. Karena yang main Clive Owen (I'll Sleep When I'm Dead), jadi pilih nonton filmnya aja dulu! Hehehe... Apalagi film ini settingnya London tahun 2027. Nonton film bersetting London di London kan lebih mantep getu! Di film ini London digambarin kumuh, gloomy dan polusi. Akibatnya saya dan Sly kasak kusuk sambil nonton, ini London sebelah mana ya?

Imigran gelap jadi masalah terbesar London 21 tahun lagi. Pemerintah menangkap, memenjara dan menyiksa imigran2 itu. Jadi inget film2 yang ada adegan kamp konsentrasinya. Pengulangan sejarah? Akibatnya para imigran yang digambarkan jadi kaum underground balik melawan pemerintah, gerilya gitu deh. Nah, ditengah krisis fertilitas ini, ternyata masih ada satu perempuan yang ditemukan tengah hamil! Tapi karena dia perempuan berkulit hitam, jadi kudu dilindungi, dikeluar London dan inilah tugasnya Clive Owen (yang macho itu! hehehe..)

Alfonso Cuaron masih bagus aja, atau makin bagus. Setelah Y tu Mama Tambien dan Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, kali ini Cuaron sukses lagi gabungin drama, adventure dan sedikit sci-fi. Pas banget proporsinya. Ada dramanya tapi gak menye2, ada tembak2annya tapi gak brutal. Yang jelas kameranya bagus banget. Sukses bikin adegan perang dan tembak2an panjang dan indah dengan one take. Dengan koreografi kamera se-njlimet dan serapih itu, gimana dan berapa kali rehearsenya ya?

Monday, September 25, 2006

The Queen

I'd say this film is a semi-biography. For sure it's more than just drama. Dari film ini saya mengerti kalau ternyata meninggalnya Lady Di adalah ancaman terbesar yang nyaris 'membubarkan' monarki di Inggris. The Queen dengan detail menggambarkan kasak kusuk di kerajaan Inggris sepekan setelah Lady Di meninggal dalam kecelakaan. Helen Mirren sumpah paaas banget jadi HM Elizabeth II. Cara ngomongnya, jalannya, bahkan cara nggerakin tangannya, persis deh!

The Quenn fokusnya pada tarik ulur antara Queen Elizabeth II dan Tony Blair, yang tahun 1997 itu baru saja terpilih jadi PM. Ratu awalnya menolak ngasih ucapan bela sungkawa secara terbuka utk Diana & menolak mengibarkan bendera setengah tiang di Buckingham palace karena Diana udah nggak dianggap anggota royal family. Pastinya sikap ratu ini diprotes keras rakyat Inggris yang mencintai Diana. Cara film ini ngebangun emosi keren banget. Original footage reaksi rakyat Inggris dan footage wawancara terakhir Diana di TV sukses memperkuat sense biografi film ini. Ditengah krisis, Tony Blair seolah secara halus memanfaatkan kesempatan meraih simpati rakyat Inggris dengan 'menekan' ratu agar mau mengadakan pemakaman terbuka untuk Diana. Maukah sang ratu?

Nonton film ini di London sungguh lebih matep! Misalnya nih, setelah pernah ngelihat langsung upacara changing of guard di Buckingham, rasanya lebih bisa menghayati kenapa lautan karangan bunga untuk Diana itu dipermasalahkan. Disini juga dilihatin, ternyata Ratu juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati!

Ssstt... Setelah biasanya duo nonton hanya saya dan Sly, malam ini tambah Rini. Dan ternyata, inilah untuk pertama kalinya setelah setahun Rini nonton bioskop di London! Yaoloh jeng Rini... ck ck ck!